PERIODE KELAHIRAN SASTRA ANGKATAN 66, 70, 80, DAN 2000
Sastra Angkatan 66
Lahirnya angkatan ’66
ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan
di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI
dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita
ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang
terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ’66 yang
dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Kenyataan sejarah
membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para pengarang
sudah menunjukan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama
angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin dalam bukunya yang berjudul angkatan 66 : Prosa dan Puisi. Dalam
bukunya pertama kali H.B.Jassin menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50
dengan mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian
Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1960. H.B. Jassin mengkritisi
semua konsepsi - konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya Ajip Rosidi
dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafsiran angkatan 50 dan
angkatan terbaru adalah kedekatan massa dengan angkatan sebelumya yaitu
angkatan 45 sehingga tidak ada konsep yang berlainan dengan angkatan sebelumnya
tersebut (Jassin,2003:17-8)
Sebelum munculnya nama sastra
angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari Yogya pernah mengumumkan nama
sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini tidak popular dan kemudian
dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh
pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan
pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa keadilan
demi kepentingan pribadi dan golongan. Penyelewengan tersebut antara lain
pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan
memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar
sila pertama. Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi
semakin terpuruk dan rakyat menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan
angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan
ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain
selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Peristiwa politik tersebut
berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terdapat dua
kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman
penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan yang tidak
terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan
lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap
berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang
tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka.
Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor
dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan
seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan. Manifest kebudayaan adalah
perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat
tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau
menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam sidang lengkap pada
tanggal 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya
Bokor Hutasuhut sidang memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya
sebagai berikut.
- Kami
para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah
Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik
Kabudayaan Nasional kami.
- Bagi
kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor
kebudayaan yang lain. setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan
itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam
melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan
dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di
tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila
adalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali
dipublikasikan dalam surat kabar Berita Republik (Jakarta). Manifest tersebut
ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang antar lain
H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo
Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh
seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan
menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai
oleh mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang
menandatanganinya. Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang.
Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala
kemungkinan untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai
pemerintah dipecat dari pekerjaannya. Terbitan yang menjadi tempat menulis
dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang
didirikan H.B.Jassin.
Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup kurun
waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya
bercirikan protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal
ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang
cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya Taufik Ismail,
yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian menulis puisi-puisi yang
bersumber dari Tarikh dan Hadith.
Sastra Angkatan 70
Munculnya periode 70-an karena
adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan
estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang puisi,
prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30
S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan Damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada
tahun 1970-an dengan nama sastra periode 70-an. Dalam periode 70-an pengarang
berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan
bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya, prosa
dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2
kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka
mulai menulis dan mempertunjukan drama yang absurd atau tidak masuk akal.
Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi konteporer atau puisi selindro.
Periode 70-an telah memperlihatkan
pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain ; wawasan estetika, pandangan,
sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu
yang bersifat tradisional bahkan berusaha untuk menjadikannya sebagai titik
tolak dalam menghasilkan karya sastra modern. Perkembangan sastra Indonesia
periode 70-an maju pesat, karen banyak penerbitan yang muncul dan bebas
menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Istilah angkatan 70
pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-Peta
Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra
memperingati ulang tahun ke- 5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25
Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya
(September 1977) dan dalam satyagraha hoerip (ed) semua Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai
dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel
tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyayian Angsa”,
juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachrie,
dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Sastra kontekstual, istilah ini
pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Saresehan Kesenian di Solo,
28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual adalah sejenis pemahaman
atas seluk beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial-historis
kesusastraan yang bersangkutan. Bukan sejenis karya sastra.
Sastra Angkatan 80
Kelahiran sastra angkatan 80-an diwarnai dengan
aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi oleh kegiatan politik. Angkatan 80-an
lahir pada masa pemerintahan Soeharto era Orde Baru. Soeharto pada masa itu masih
menduduki suatu jabatan di militer dan sebagai presiden Republik Indonesia,
sehingga pemerintahannya sangat kokoh dengan perlindungan dari militer. Era
Orde Baru mempunyai ciri yaitu semua keputusan berporos pada presiden dan hak
bersuara sangat dibatasi. Ketika ada sebuah karya yang sifatnya dianggap
provokasi, mengancam, melecehkan, menyinggung, dan merugikan maka akan langsung
ditindaklanjuti oleh Soeharto dengan segera. Contohnya adalah Majalah Djaja
yang terkenal waktu itu berhenti terbit, padahal majalah tersebut memuat
masalah masalah budaya bangsa dan kesenian Indonesia.
Sebab-sebab di atas tersebut menjadi dasar tentang tema yang
di titik beratkan pada angkatan 80-an, yaitu tentang roman percintaan dan kisah
kehidupan pada masa itu yang bersifat tidak dianggap provokasi, mengancam,
melecehkan, menyinggung dan merugikan. Tema roman percintaan dan kisah
kehidupan ini pun didasari oleh kemajuan ekonomi dan hidup yang indah bagi
masyarakat karena pada masa itu perekonomian di Indonesia sangat makmur sebelum
krisis moneter pertengahan tahun 1997.
Kelahiran periode 80-an bersifat mendobrak keberadaan, yang
dilairkan dari konsepsi individual yang mengacu pada satu wawasan kelompok. Setelah
melewati ujian bertahun tahun, kata bukanlah alat pengantar pengertian, tetapi adalah pengertian itu sendiri. Kata bebas menentukan diri
sendiri, bebas dari penjajahan dan bebas dari ide-ide.
Konsep di atas telah menitikberatkan pada kata. Hal
ini sangat menarik dan membawa pada pemikiran yang lain dalam wawasan yang
estetik periode 80-an. Periode sebelumnya telah terjadi pergeseran wawasan dan
pergeseran estetik khususnya pada kata. Dasar tersebut menyebabkan
lahirnya periode 80-an menekankan pada pemikiran dan cara penyampaian dalam
karya sastra.
Periode 80-an ini merupakan
sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat Indonesia untuk menuju
kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional. Kesusastraan itu adalah
alat untuk mencurahkan makna agar dapat ditumpahkan pada manusia secara utuh
dan makna itu hendaknya disalurkan agar mengalami proses mengembang dan
mengempis masuk ke dalam kehidupan serta mengembangkan hal-hal yang sebelumnya
belum terpikirkan oleh manusia.
Periode 80-an lahir dari
konsepsi improvisasi dalam penggarapan karya sastra menuju hasil dan bobot
maksimal serta baru dari konsep yang menentang pada satu kehidupan. Para
sastrawan mengikuti perkembangan jaman yang dituntut adanya keberanian dan
kreativitas untuk berkarya. Banyak karya sastra yang dijadikan drama drama
radio. Pada periode 80-an ini karya sastra film juga berkembang pesat.
Perfilman Indonesia banyak ditonton dan diminati oleh masyarakat dan para
sutradara pun aktif menciptakan film-film baru. Misal film yang bertemakan
percintaan remaja yaitu Gita Cinta SMA ini banyak mempunyai penggemar baik
dikalangan muda maupun tua.
Sastra
80-an berada di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi
yang nyaris total. Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan
dan mahasiswa sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala
macam aktivitas politik. Mimbar bebas tidak lagi dibolehan dan bahkan
indoktrinasi berupa penataran P4 mulai menjadi bagian integral dari kehidupan
kampus.
Politik
stabilitas, security approach, normalisasi kehidupan kampus,
dan asas tunggal merupakan lingkungan tempat para sastrawan era 80-an hidup.
Majalah sastra hanya ada Horison dan Basis. TIM
sebagai pusat kesenian tidak seleluasa dulu, baik dalam masalah dana maupun
kegiatan.
Karya
sastra yang lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi tersebut.
Oleh karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas
sosial politik serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif
masyarakat pada masa itu.
Globalisasi dengan
ekonomi sebagai panglima menempatkan pusat dunia tidak lagi pada lembar-lembar
diskursif sastrawi. Jargon-jargon politik yang hiruk-pikuk dan menakutkan telah
berlalu. Mereka digantikan oleh jargon-jargon modisme yang meriah,
kerlap-kerlip, dan tidak terasa menakutkan. Ditambah lagi, terdapat ancaman
pembredelan-pembredelan terhadap karya sastra dan faktor-faktor keamanan
lainnya.
Karya sastra di Indonesia
pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan,
dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Mega
T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar
luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Sastra Angkatan 2000
Revormasi
di tandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung dengan
lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah
tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap
rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfasilitasi rakyat Indonesia
dalam memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan. Lahirnya reformasi
ini menandakan adanya kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu
terkungkung dalam lembah kelam. Bagi merek yang memiliki sifat revolusioner,
kehadiran reformasi ini merupakan momok yang selalu di idam-idamkan. Akan tetapi,
kenyataannya malah membuat mereka semakin radikal.
Angkatan
Reformasi muncul, namun tidak berhasil di kukuhkan karena tidak memiliki “juru
bicara”. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta
tahun 2002, seratus lebih penyair, cerpennis, novelis,esais, dan kritikus
sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah
mulai menulis sejak tahun 1998-an, seperti afrisal Malna, Abmadun Yossi
Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an
seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie, Afrisal melna
melansir estetika baru yang digali dari sifat missal benda dan manusia yang
dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari interaksi missal
Setelah
terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu didekap
dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba tiba
memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah
pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja
namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang
diberikan oleh Korrie Layun Rampan.
Berikut
adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
1. Tahun
2000 : Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B.Jassin
meninggal di Jakarta. Buku aku ingin jadi
peluru karya Wiji Thukul terbit.
2. Tahun
2001 : Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan
kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah
mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad
Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko
Pinurbo, Gus tf, Acep Zamzam Noor.
3. Tahun
2003 : Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri
dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini,
Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukan sebagai sastrawan Indonesia
yang pertama.
4. Tahun
2003 :Supardi Djoko Damono dan Ignes Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie
Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan
intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya
adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo.
Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapat penghargaan tersebut menolak
karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo,
Jawa Timur.
5. Tahun
2004 : Pemilihan Presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di
Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan
Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya
generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para
sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia,
diantaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam,
Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain
lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) munir dibunuh, Buku sastra Indonesia
dalam enam pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
6. Tahun
2005 : Novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirrata terbit. Novel ini dan novel
ayat-ayat cinta menjadi novel
terlaris(best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel
ini juga ditransformasi ke film.
7. 2006
: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia : 1895-2000. Penerbitan buku
ini menunjukan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920,
melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia
8. Tahun
2007 : Novel Kalatidha Karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang
terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakan sastra cyber,
sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
9.
Tahun 2008 : Buku-buku Pramoedya
Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedy 1965 yang ingin
meluruskan sejarah marak di took-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, suara perempuan korban tragedy 65 karya
Ita F.Nadia