Jumat, 11 Desember 2015

PERIODE KELAHIRAN SASTRA ANGKATAN 66, 70, 80, DAN 2000
Sastra Angkatan 66
Lahirnya angkatan ’66 ini didahului adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan ulah teror politik yang dilakukan PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ’66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ’66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para pengarang sudah menunjukan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin dalam bukunya yang berjudul angkatan 66 : Prosa dan Puisi. Dalam bukunya pertama kali H.B.Jassin menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50 dengan mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1960. H.B. Jassin mengkritisi semua konsepsi - konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya Ajip Rosidi dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafsiran angkatan 50 dan angkatan terbaru adalah kedekatan massa dengan angkatan sebelumya yaitu angkatan 45 sehingga tidak ada konsep yang berlainan dengan angkatan sebelumnya tersebut (Jassin,2003:17-8)
Sebelum munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari Yogya pernah mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini tidak popular dan kemudian dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan. Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila pertama. Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka.
Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan. Manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam sidang lengkap pada tanggal 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut sidang memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.
  1. Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
  2. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
  3. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
  4. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita Republik (Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra  tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh mereka, mereka menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya. Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya. Terbitan yang menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan H.B.Jassin.
 Angkatan 66  dalam sastra Indonesia mencakup kurun waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya Taufik Ismail, yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian menulis puisi-puisi yang bersumber dari Tarikh dan Hadith.


Sastra Angkatan 70
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30 S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan Damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun 1970-an dengan nama sastra periode 70-an. Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka mulai menulis dan mempertunjukan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi konteporer atau puisi selindro.
Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain ; wawasan estetika, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusaha untuk menjadikannya sebagai titik tolak dalam menghasilkan karya sastra modern. Perkembangan sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karen banyak penerbitan yang muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam  berbagai bentuk. Istilah angkatan 70 pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulang tahun ke- 5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam satyagraha hoerip (ed) semua Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyayian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachrie, dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Sastra kontekstual, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Saresehan Kesenian di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual adalah sejenis pemahaman atas seluk beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial-historis kesusastraan yang bersangkutan. Bukan sejenis karya sastra.
Sastra Angkatan 80
Kelahiran sastra angkatan 80-an diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat dan dipengaruhi oleh kegiatan politik. Angkatan 80-an lahir pada masa pemerintahan Soeharto era Orde Baru. Soeharto pada masa itu masih menduduki suatu jabatan di militer dan sebagai presiden Republik Indonesia, sehingga pemerintahannya sangat kokoh dengan perlindungan dari militer. Era Orde Baru mempunyai ciri yaitu semua keputusan berporos pada presiden dan hak bersuara sangat dibatasi. Ketika ada sebuah karya yang sifatnya dianggap provokasi, mengancam, melecehkan, menyinggung, dan merugikan maka akan langsung ditindaklanjuti oleh Soeharto dengan segera. Contohnya adalah Majalah Djaja yang terkenal waktu itu berhenti terbit, padahal majalah tersebut memuat masalah masalah budaya bangsa dan kesenian Indonesia.
Sebab-sebab di atas tersebut menjadi dasar tentang tema yang di titik beratkan pada angkatan 80-an, yaitu tentang roman percintaan dan kisah kehidupan pada masa itu yang bersifat tidak dianggap provokasi, mengancam, melecehkan, menyinggung dan merugikan. Tema roman percintaan dan kisah kehidupan ini pun didasari oleh kemajuan ekonomi dan hidup yang indah bagi masyarakat karena pada masa itu perekonomian di Indonesia sangat makmur sebelum krisis moneter pertengahan tahun 1997.
Kelahiran periode 80-an bersifat mendobrak keberadaan, yang dilairkan dari konsepsi individual yang mengacu pada satu wawasan kelompok. Setelah melewati ujian bertahun tahun, kata bukanlah alat pengantar pengertian, tetapi adalah pengertian itu sendiri. Kata bebas menentukan diri sendiri, bebas dari penjajahan dan bebas dari ide-ide.
Konsep di atas telah menitikberatkan pada kata. Hal ini sangat menarik dan membawa pada pemikiran yang lain dalam wawasan yang estetik periode 80-an. Periode sebelumnya telah terjadi pergeseran wawasan dan pergeseran estetik khususnya pada kata. Dasar tersebut menyebabkan lahirnya periode 80-an menekankan pada pemikiran dan cara penyampaian dalam karya sastra.
Periode 80-an ini merupakan sastra yang dinamik yang bergerak bersama masyarakat Indonesia untuk menuju kehidupannya yang baru dengan wawasan konstitusional. Kesusastraan itu adalah alat untuk mencurahkan makna agar dapat ditumpahkan pada manusia secara utuh dan makna itu hendaknya disalurkan agar mengalami proses mengembang dan mengempis masuk ke dalam kehidupan serta mengembangkan hal-hal yang sebelumnya belum terpikirkan oleh manusia.
Periode 80-an lahir dari konsepsi improvisasi dalam penggarapan karya sastra menuju hasil dan bobot maksimal serta baru dari konsep yang menentang pada satu kehidupan. Para sastrawan mengikuti perkembangan jaman yang dituntut adanya keberanian dan kreativitas untuk berkarya. Banyak karya sastra yang dijadikan drama drama radio. Pada periode 80-an ini karya sastra film juga berkembang pesat. Perfilman Indonesia banyak ditonton dan diminati oleh masyarakat dan para sutradara pun aktif menciptakan film-film baru. Misal film yang bertemakan percintaan remaja yaitu Gita Cinta SMA ini banyak mempunyai penggemar baik dikalangan muda maupun tua.
            Sastra 80-an berada di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi yang nyaris total. Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktivitas politik. Mimbar bebas tidak lagi dibolehan dan bahkan indoktrinasi berupa penataran P4 mulai menjadi bagian integral dari kehidupan kampus.
            Politik stabilitas, security approach, normalisasi kehidupan kampus, dan asas tunggal merupakan lingkungan tempat para sastrawan era 80-an hidup. Majalah sastra hanya ada Horison dan Basis. TIM sebagai pusat kesenian tidak seleluasa dulu, baik dalam masalah dana maupun kegiatan.
            Karya sastra yang lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi tersebut. Oleh karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu.
            Globalisasi dengan ekonomi sebagai panglima menempatkan pusat dunia tidak lagi pada lembar-lembar diskursif sastrawi. Jargon-jargon politik yang hiruk-pikuk dan menakutkan telah berlalu. Mereka digantikan oleh jargon-jargon modisme yang meriah, kerlap-kerlip, dan tidak terasa menakutkan. Ditambah lagi, terdapat ancaman pembredelan-pembredelan terhadap karya sastra dan faktor-faktor keamanan lainnya.
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Mega T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.

Sastra Angkatan 2000
Revormasi di tandai dengan jatuhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfasilitasi rakyat Indonesia dalam memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan. Lahirnya reformasi ini menandakan adanya kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu terkungkung dalam lembah kelam. Bagi merek yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran reformasi ini merupakan momok yang selalu di idam-idamkan. Akan tetapi, kenyataannya malah membuat mereka semakin radikal.
Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil di kukuhkan karena tidak memiliki “juru bicara”. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta tahun 2002, seratus lebih penyair, cerpennis, novelis,esais, dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1998-an, seperti afrisal Malna, Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie, Afrisal melna melansir estetika baru yang digali dari sifat missal benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari interaksi missal
Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu didekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan.
Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
1.      Tahun 2000 : Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B.Jassin meninggal di Jakarta. Buku aku ingin jadi peluru karya Wiji Thukul terbit.
2.      Tahun 2001 : Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf, Acep Zamzam Noor.
3.      Tahun 2003 : Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
4.      Tahun 2003 :Supardi Djoko Damono dan Ignes Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapat penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
5.      Tahun 2004 : Pemilihan Presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, diantaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) munir dibunuh, Buku sastra Indonesia dalam enam pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
6.      Tahun 2005 : Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirrata terbit. Novel ini dan novel  ayat-ayat cinta menjadi novel terlaris(best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
7.      2006 : Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia : 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia
8.      Tahun 2007 : Novel Kalatidha Karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
9.      Tahun 2008 : Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedy 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di took-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, suara perempuan korban tragedy 65 karya Ita F.Nadia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar